Riwayat Genosida Rwanda
Juvénal Habyarimana berasal dari keluarga Hutu yang kaya raya. Dia merintis suatu pemerintahan yang melibatkan tiga etnis di Rwanda yakni Hutu (85%), Tutsi (14%) dan Twa (1%). Habyarimana mengangkat perdana menteri Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan dari suku berbeda jenis ini jelas tidak diterima oleh kelompok militan dari suku Hutu yang ingin mempertahankan sistem pemerintahan satu suku. Habyarimana akhirnya dibunuh bersama presiden Burundi oleh kelompok militan penentangnya ketika mereka berada di dalam pesawat (atau helikopter) pemberian Presiden Perancis Francois Mitterand.
Disinyalir, peristiwa penembakan keji itu dilakukan sebagai protes terhadap rencana Presiden Habyarimana untuk masa depan Rwanda. Habyarimana berencana melakukan persatuan etnis di Rwanda dan pembagian kekuasaan kepada etnis-etnis itu. Rencana itu telah disusun setahun sebelumnya, seperti tertuang dalam Piagam Arusha (Arusha Accord) pada tahun 1993. Untuk diketahui, Habyarimana menjadi presiden Rwanda sejak tahun 1993. Sebelumnya ia menempati posisi sebagai Menteri Pertahanan Rwanda.
Situasi tidak berhenti disitu, kelompok ekstimis Hutu yang berada di di dalam elit politik berupaya membuat propaganda dan ujaran kebencian melalui radio, selebaran yang mengobarkan kebencian terhadap etnis Tutsi sebagai penyebab meningkatnya tekanan sosial ekonomi dan politik. Etnis Tutsi juga di tuduh mendukung kelompok dominan yang melakukan pemberontakan Tutsi, yaitu Rwanda Patriotic Front (RPF).
Pembunuhan genosida dimulai pada hari berikutnya. Tentara, polisi, dan milisi dengan cepat mengeksekusi Tutsi dan pemimpin militer dan politik Hutu moderat yang bisa mengambil alih kendali dalam kekosongan kekuasaanberikutnya.
Pos pemeriksaan dan barikade dipasang untuk menyaring semua pemegang kartu identitas nasional Rwanda (yang berisi informasi klasifikasi etnis yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belgia pada tahun 1933) untuk secara sistematis mengidentifikasi dan membunuh Tutsi.
Pasukan ini merekrut dan menekan warga sipil Hutu untuk mempersenjatai diri dengan parang, benda tumpul, dan senjata lainnya untuk memperkosa, melukai, dan membunuh tetangga Tutsi mereka dan untuk menghancurkan atau mencuri harta benda mereka.
Bahaya hate speech bagi negara kita yang multi etnis
Kita Polri dan masyarakat belajar dari kejadian Genosida Rwanda yang diawali sikap benci karena perbedaan suku, kelompok dan Politik memicu propaganda masif untuk menghancurkan kelompok lain dan berdampak kehancuran.
Kita pahamkan dulu, begitu berbahayanya hate speech bagi persatuan bangsa, kemananan, stabilitas politik, dan ekonomi bahkan mengancam jiwa masyarakat.
Hate Speech dikategorikan berbahaya bagi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, karena:
1. Hate speech merendahkan orang lain.
Manusia merupakan ciptaan Allah SWT, sehingga tidak berhak seorangpun manusia diperbolehkan merendahkan manusia lain, hanya karena perbedaan agama, suku dan golongan.
2. Hate speech menimbulkan kerugian material dan korban manusia.
Dari beberapa kejadian, di Indonesia konflik sunni dan syiah, serta hate speech di tanjung balai Sumatra Utara, korban hate speech mengalami kerugian material dan psikis akibat persekusi dan tindak kekekrasan lainnya.
3. Hate speech bisa menimbulkan konflik yang luas.
Hasutan untuk memusuhi disertai propaganda terhadap individu maupun kelompok sangat rentan memicu konflik horizontal. Penanganan yang tidak tepat oleh Kepolisian dan stakeholder akan menambah parah potensi konflik sosial
4. Hate speech berpotensi memicu genosida
Hasutan kebencian dan propaganda yang dilakukan secara masif oleh beberapa kelompok saat ini dapat membentuk streotyping/pelabelan, stigma , pengucilan, diskriminasi, kekekrasan. Bahkan pada tingkat tertentu akan menimbulkan kejadian mengerikan seperti pernah terjadi di konflik Ambon, konflik Sambas yang telah banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda.
Dampak ujaran kebencian, Source: Komnas HAM
Kepentingan Polri dengan surat edaran Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian
Kepolisian mempunyai tanggung jawab keamanan dalam negeri yang harus peka dengan perkembangan lingkungan strategisnya. Ujaran kebencian telah menjadi ancaman serius bagi situasi Kamtibmas secara umum dan dapat memicu konflik horizontal dan vertikal. Oleh karena itu diterbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/V/2015 tentang penanganan ujaran kebencian (hate speech).
Ujaran Kebencian perlu ditangani karena:
1. Bertentangan dengan Pancasila
Dasar negara kita Pancasila menekankan persatuan Indonesia dan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Segala ujaran kebencian yang disampaikan terhadap orang lain, kelompok, suku, agama dan ras sangat bertentangan dengan sila ke 3 dan ke 5 Pancasila.
2. Bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika,
Sejak diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, indonesia di bangun dan diperjuangkan oleh semua suku, agama dan ras yang mendiami tanah bumi Indonesia. Ujaran kebencian melanggar pedoman kebangsaan Bhineka Tunggal Ika, dimana segala perbedaan tetap satu, yakni Indonesia. Karena pada dasarnya, perbedaan saat ini memang satu realitas tetapi tidak boleh membenci perbedaan.
Tujuan surat edaran Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian.
Untuk memperjelas panduan kerja petugas Polri, maka diterbitkan SE Kapolri tentang penanganan ujaran kebencian, agar petugas Polisi di satuan kewilayahan tidak lagi gamang melakukan cegah tangkal dan tindakan hukum terhadap maraknya kasus ujaran kebencian.Surat edaran ini bersifat tekhnis bagi aparatur kepolisian yang berisi:
1. Pemahaman bahaya ujaran kebencian, bagi persatuan bangsa dan perlindungan kelompok minoritas.
2. Menjadi panduan untuk upaya deteksi dini ujaran kebencian yang berpotensi menimbulkan konflik sosial.
3. SE juga dapat digunakan sebagai panduan kebijakan dan langkah tepat, baik secara preventif, preemtif dan represif dengan menggunakan kewenangan UU yang dimiliki termasuk melakukan penyidikan tindak pidana ujaran kebencian.
Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), file diakses dengan Google Drive